Sabtu, 03 November 2012

penalaran induktif n deduktif

penalaran induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. Contoh:
Jika dipanaskan, besi memuai.
Jika dipanaskan, tembaga memuai.
Jika dipanaskan, emas memuai.
Jika dipanaskan, platina memuai.
Penalaran Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional,instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahuluharus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian dilapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakankata kunci untuk memahami suatu gejala.

Contoh : yaitu sebuah sistem generalisasi.
Laptop adalah barang eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi, DVD Player adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Generalisasi : semua barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.

Pengertian Premis Mayor dan Premis Minor
Premis mayor adalah pernyataan umum, sementara premis minor artinya pernyataan khusus. Proses itu dikenal dengan istilah silogisme. Silogisme merupakan proses penalaran di mana dari dua proposisi (sebagai premis) ditarik suatu proposisi baru (berupa konklusi). Misalnya : "Semua orang akhirnya akan mati" (premis mayor). Hasan adalah orang (premis minor). Oleh karena itu, "Hasan akhirnya juga akan mati" (kesimpulan). Jadi, berfikir deduktif adalah berfikir dari yang umum ke yang khusus. Dari yang abstrak ke yang konkrit. Dari teori ke fakta-fakta.

Jenis Penalaran Deduktif
Jenis penalaran deduktif yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu:
1. Silogisme Kategorial : Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Konditional hipotesis yaitu : bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya Menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedangkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh :
Premis Mayor : Tidak ada manusia yang abadi
Premis Minor : Socrates adalah manusia
Kesimpulan : Socrates tidak abadi

Kaedah- kaedah dalam silogisme kategorial adalah :
1. Silogisme harus terdiri atas tiga term yaitu : term mayor, term minor, term penengah.
2. Silogisme terdiri atas tiga proposisi yaitu premis mayor, premis minor, dan kesimpulan
3. Dua premis yang negatif tidak dapat menghasilkan simpulan.
4. Bila salah satu premisnya negatif, simpulan pasti negative.
5. Dari premis yang positif, akan dihasilkan simpulan yang positif.
6. Dari dua premis yang khusus tidak dapat ditarik satu simpulan.
7. Bila premisnya khusus, simpulan akan bersifat khusus.
8. Dari premis mayor khusus dan premis minor negatif tidak dapat ditarik satu simpulan.

2. Silogisme Hipotesis : Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi konditional hipotesis. Menurut Parera (1991: 131) Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis mayor bersifat hipotesis atau pengadaian dengan jika … konklusi tertentu itu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi. Ada 4 (empat) macam tipe silogisme hipotesis:
1. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagian antecedent, seperti:
Jika hujan, saya naik becak.
Sekarang hujan.
Jadi saya naik becak.

2. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengakui bagiar konsekuennya, seperti:
Bila hujan, bumi akan basah.
Sekarang bumi telah basah.
Jadi hujan telah turun.

3. Silogisme hipotesis yang premis minornya mengingkari antecedent, seperti:
Jika politik pemerintah dilaksanakan dengan paksa, maka
kegelisahan akan timbul. Politik pemerintahan tidak dilaksanakan dengan paksa, Jadi kegelisahan tidak akan timbul. Silogisme hipotetik yang premis minornya mengingkari bagian konsekuennya, seperti:
Bila mahasiswa turun ke jalanan, pihak penguasa akan gelisah Pihak penguasa tidak gelisah. Jadi mahasiswa tidak turun ke jalanan.

Kaedah- kaedah Silogisme Hipotesis
• Mengambil konklusi dari silogisme hipotesis jauh lebih mudah dibanding dengan silogisme kategorik. Tetapi yang penting di sini adalah menentukan kebenaran konklusinya bila premis-premisnya merupakan pernyataan yang benar.
Bila antecedent kita lambangkan dengan A dan konsekuen dengan B, jadwal hukum silogisme hipotetik adalah:
1) Bila A terlaksana maka B juga terlaksana.
2) Bila A tidak terlaksana maka B tidak terlaksana. (tidak sah = salah)
3) Bila B terlaksana, maka A terlaksana. (tidak sah = salah)
4) Bila B tidak terlaksana maka A tidak terlaksana
Contoh :
a) Premis Mayor: Jika tidak turun hujan, maka panen akan gagal
Premis Minor: Hujan tidak turun
Konklusi : Sebab itu panen akan gagal.
b) Premis Mayor : Jika tidak ada air, manusia akan kehausan.
Premis Minor : Air tidak ada.
Kesimpulan : Manusia akan kehausan.
3. Silogisme Akternatif : silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Proposisi alternatif yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya. Simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerima atau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
Silogisme ini ada dua macam, silogisme disyungtif dalam arti sempit dan silogisme disyungtif dalam arti luas. Silogisme disyungtif dalam arti sempit mayornya mempunyai alternatif kontradiktif, seperti:
la lulus atau tidak lulus.
Ternyata ia lulus
Jadi, la bukan tidak lulus
Silogisme disyungtif dalam arti luas premis mayomya mempunyai alternatif bukan kontradiktif, seperti:
Xsa di rumah atau di pasar.
Ternyata tidak di rumah.
Jadi, di pasar
Silogisme disyungtif dalam arti sempit maupun arti iuas mempunyai dua tipe yaitu:
1. Premis minornya mengingkari salah satu alternatif, konklusi-nya adalah mengakui alternatif yang lain.
2. Premis minor mengakui salah satu alternatif, kesimpulannya adalah mengingkari alternatif yang lain.
Kaedah-kaedah silogisme alternatif :
1. Silogisme disyungtif dalam arti sempit, konklusi yang dihasilkan selalu benar, apabila prosedur penyimpulannya valid
2. Silogisme disyungtif dalam arti luas, kebenaran koi adalah sebagai berikut:
a. Bila premis minor mengakui salah satu alterna konklusinya sah (benar)
Contoh :
Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah guru.
Jadi bukan pelaut
Rizki menjadi guru atau pelaut.
la adalah pelaut.
Jadi bukan guru
b. Bila premis minor mengingkari salah satu a konklusinya tidak sah (salah)
Contoh :
Penjahat itu lari ke Surabaya atau ke Yogya.
Ternyata tidak lari ke Yogya.
Jadi ia lari ke Surabaya. (Bisa jadi ia lari ke kota lain).
Rifki menjadi guru atau pelaut.
Ternyata ia bukan pelaut.
Jadi ia guru. (Bisa jadi ia seorang pedagang)
Contoh :
Premis Mayor : Nenek Sumi berada di Bandung atau Bogor.
Premis Minor : Nenek Sumi berada di Bandung.
Kesimpulan : Jadi, Nenek Sumi tidak berada di Bogor.

4. Entimen : Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan.
Entimen atau Enthymeme berasal dari bahasa Yunani “en” artinya di dalam dan “thymos” artinya pikiran adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimem, penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas, istilah "enthymeme" kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
Menurut Aristoteles yang ditulis dalam Retorika, sebuah "retorik silogisme" adalah bertujuan untuk pembujukan yang berdasarkan kemungkinan komunikan berpendapat sedangkan teknik bertujuan untuk pada demonstrasi. Kata lainnya, entimem merupakan silogisme yang diperpendek.
Contoh :
Rumus Entimen:
PU : Semua A = B : Pegawai yang baik tidak pernah datang terlambat.
PK : Nyoman pegawai yang baik.
S : Nyoman tidak pernah datang terlambat
Entimen : Nyoman tidak pernah datang terlambat karena ia pegawai yang baik
Beberapa ciri utama dari penalaran deduktif, yaitu :
1. Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
2. Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis.


Sumber :
1. http://wikiberita.net/news/165909-contoh-penalaran-deduktif.html
2. http://id.wikipedia.org/wiki/Logika
3. http://myth90.blogspot.com/2011/02/penalaran-deduktif.html

Senin, 17 September 2012

psikologi olga (makalah emosi, stalaness dan Ringelmann Effect)


BAB 1
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah
Ada cukup banyak gejala gejala gangguan mental atlit yang dapat menyebabkan merosotnya prestasi atlit, atau setidaknya merupakan hambatan sehingga mengganggu perkembangan atlit dalam upaya mencapai prsetasi setinggi-tingginya.
Dalam makalah ini akan dibicarakan lima gangguan mental yang sering sekali dihadapi opara pelatih dan atlit di lapangan. Seperti rasa emosi dan Ringelmann Effect. Mental merupakan daya penggerak dan pendorong untuk mengejawantahkan kemampuan fisik, teknik dan taktik atlit dalam melaksanakan aktivitas olahraga. Mental atlit merupakan aspek yang abstrak, dimana sulit untuk ditangkap dengan panca indra, apalagi diteliti perkembangan maupun dinilai hasil pembinaannya.

B. Identifikasi Masalah
1)      Dapat mengetahui gejala-gejala emosi, stalaness dan Ringelmann Effect.
2)      Dapat mengerti akan gejala-gejala tersebut.
3)      Dapat mencari solusi dari gejala-gejala tersebut.
4)      Dapat membedakan antara emosi, stalaness dan Ringelmann Effect.
C. Tujuan
1)      Menambah pengetahuan akan gejala-gejala mental dalam olahraga
2)      Dapat menghindari diri dari gejala tersebut
3)      Menjadi bekal di masa tertentu dalam proses mengajar.
BAB 2
PEMBAHASAN
A.     EMOSI
Hal yang paling sulit dilakukan oleh sebagian besar orang adalah mengalahkan musuh terbesar mereka yaitu diri sendiri. Jika seseorang sudah dapat mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri, berarti seseorang itu sudah mencapai tahap kecerdasan spiritual yang tinggi. Mengalahkan dan mengendalikan diri sendiri bukanlah sebuah peristiwa, tetapi sebuah kebiasaan dan kedisiplinan yang harus dilakukan setiap hari.
Kata emosi adalah kata serapan dari bahasa inggris, yakni ‘emotion’. Dalam kamus, kata ‘emotion’ digunakan untuk menggambarkan perasaan yang kuat akan sesuatu dan perasaan yang sangat menyenangkan atau sangat mengganggu. Pandangan sistematis yang pertama kali adalah pandangan dari Darwin yang mendefinisikan emosi sebagai mekanisme untuk adaptasi dan mempertahankan hidup oleh individu. Definisi Emosi Berdasarkan Kamus Bahasa Melayu (1994), emosi bermaksud perasaan pada jiwa yang kuat (seperti sedih, marah dan lain-lain). Oxford Advanced Learners’ Dictionary (1995), menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dan berbagai jenis (kasih sayang, keriangan, benci, takut, cemburu, keseronokan atau gangguan pada perasaan). The Oxford Dictionary of Current English (1986) menyatakan emosi sebagai perasaan yang kuat dari dalam terutamanya daripada aspek mental atau naluri, seperti kasih sayang ataupun takut. Oleh itu, emosi adalah satu ciri jiwa manusia yang mempamerkan perasaan-perasaan kuat yang berpunca daripada psikologi (mental) seseorang dan emosi dapat berlaku secara naluri bergantung pada situasi.
Definisi menurut para ahli tentang emosi itu banyak sekali tetapi dapat ditarik lima benang merah diantara definisi emosi itu, yakni emosi dipicu oleh interpretasi seseorang terhadap suatu kejadian, adanya reaksi fisiologis yang kuat, ekspresi emosionalnya berdasarkan pada mekanisme genetika, merupakan informasi dari satu orang ke yang lainnya, dan membantu seseorang beradaptasi terhadap perubahan situasi lingkungan.
Situasi yang sama belum tentu akan menghasilkan emosi yang sama karena tergantung pemaknaan terhadap situasi tersebut. Melalui emosi, seseorang menyampaikan maksud pada orang lain. Takut yang dialami seseorang sebagai informasi bahwa ia tidak mau melakukan sesuatu. Marah yang dialami merupakan informasi bahwa ia tidak suka diperlakukan seperti perlakuan yang sudah diterimanya. Pendek kata, melalui emosi kita tahu apa yang telah terjadi.
Kemunculan emosi biasanya spontan, tidak disadari dan tanpa diniatkan. Tiba-tiba saja Anda mengalami emosi tertentu. Anda baru sadar mengalami sebuah emosi setelah emosi itu Anda alami.
Emosi dan perasaan (emotion & feeling). Keduanya digunakan secara tumpang tindih dalam percakapan keseharian. Perasaan mengandung adanya suatu pengalaman subjektif. Apa yang dirasakan satu orang dengan orang lain relatif sulit untuk dibandingkan. Hanya diri sendirilah yang bisa mengalami perasaan yang muncul. Sebagian ahli menyebutkan bahwa di dalam emosi terkandung perasaan. Ini artinya, perasaan adalah komponen dari emosi. Perasaan diartikan sebagai keadaan yang dirasakan sedang terjadi dalam diri seseorang
Menurut seorang peneliti emosi dari Australian National University, yakni Anna Wierzbicka, tidak semua budaya memiliki kata untuk emosi sebagaimana yang dikonsepsikan dalam bahasa inggris sedangkan kata yang bermakna perasaan (feeling) ada dalam semua bahasa. Menurutnya lagi, kata emosi lebih disukai karena kesannya lebih objektif dan lebih ilmiah daripada kata perasaan. Oleh sebab itu kata emosi jauh lebih luas digunakan dalam dunia ilmu pengetahuan.
Emosi bisa dibedakan dalam nilai positif dan negatif. Diantara keduanya terdapat nilai netral. Emosi netral adalah kategori emosi yang tidak jelas posisinya. Emosi positif berperan dalam memicu munculnya kesejahteraan emosional (emotional well-being) dan memfasilitasi dalam pengaturan emosi negatif. Jika emosi seseorang positif, maka seseorang itu akan lebih mudah dalam mengatur emosi negatif yang tiba-tiba datang. Emosi-emosi yang bernilai positif diantaranya adalah sayang, suka, cinta, bahagia, gembira, senang, dan lainnya. Emosi negatif menghasilkan permasalahan yang mengganggu individu maupun masyarakat. Emosi-emosi yang bernilai negatif. Misalnya sedih, marah, cemas, tersinggung, benci, jijik, muak, prasangka, takut, curiga dan sejenisnya.
Emosi adalah keadaan internal yang memiliki manifestasi eksternal. Meskipun yang bisa merasakan emosi hanyalah yang mengalaminya, namun orang lain kerap bisa mengetahuinya karena emosi diekspresikan dalam berbagai bentuk. Emosi diekspresikan dalam bentuk verbal maupun nonverbal. Ekspresi verbal misalnya menulis dalam kata-kata, berbicara tentang emosi yang dialami, dan lainnya. Ekspresi nonverbal misalnya perubahan ekspresi wajah, ekspresi vokal atau (nada suara dan urutan pengucapan), perubahan fisiologis, gerak dan isyarat tubuh, dan tindakan-tindakan emosional
Salah satu anugerah Tuhan kepada manusia adalah kesadaran diri (self awareness). Hal ini berarti manusia memiliki kekuatan untuk mengendalikan diri. Kesadaran diri membuat sesorang dapat sepenuhnya sadar terhadap seluruh perasaan dan emosi dirinya. Dengan senantiasa sadar akan keberadaan diri, seseroang dapat mengendalikan emosi dan perasaannya.
Namun seringkali manusia ”lupa” diri, sehingga lepas kendali atas emosi, perasaan dan keberadaan dirinya. Oleh karena, itu agar dapat mengendalikan dan menguasai diri, maka seseorang harus senantiasa membuka kesadaran dirinya melalui upaya memasuki alam bawah sadar (frekuensi gelombang otak yang rendah) maupun suprasadar melalui meditasi.
B.     STALENESS
Staleness diterjemahkan oleh Wojowasito, Poerwadaminta, dan Wasito (1982) sebagai 1) apak, 2) basi, 3) busuk. Kiranya tidaklah layak menggunakan istilah kebusukan, karena istilah ini berkonotasi negatif dan dapat diinterpretasikan keliru. Demikian juga istilah basi terasa kurang tepat karena lebih terkait dengan perihal makanan. Sementara itu dalam penjelasan berikutnya Wojowasito dan kawan-kawan (1982) mencantumkan bahwa akibat kelebihan latihan, individu menjadi apak. Ini secara langsung menyinggung masalah olahraga, jadi staleness diterjemahkan sebagai keapakan.
Keapakan adalah suatu kondisi yang menunjukkan status atlet dalam keadaan tidak mampu mempertahankan kemampuan penampilan standarnya, dengan kata lain penampilannya di bawah standar, sebagai akibat dari kelebihan latihan, dan untuk selanjitnya atlet tidak akan lagi mampu untuk mencapai taraf kemampuan standarnya. Salah satu cirri dampak psikologi yang dialami atlet yang mengalami keapakan adalah depresi (Weinberg & Gould, 1995).
Kelebihan latihan disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
a)  Telalu banyak stress dan tekanan
b)  Terlalu banyak berlatih dan latihan fisik
c)  Kelelahan fisik dan nyeri otot
d) Kebosanan (boredom) akibat pengulangan kegiatan terus-menerus
e)  Istirahat yang tidak cukup dan pola tidur yang kurang layak
C.     RINGELMANN EFFECT
Pada Tahun 1984 Silva III dan Weinberg mengemukakan hasil penelitian psikolog yang terkenal dengan Ringelmann yang kemudian diteliti oleh Ingham dkk. Dalam studinya Ringelman meneliti kemampuan menarik tambang individu-individu dalam kelompok.Kelompok yang terdiri dari 8 orang ternyata tidak menunjukkan kemampuan menarik 8 kali kemampuan individu tapi hanya 4 kali kemampuan individu.Lebih rinci lagi kelompokyang terdiri dari 2 orang kemampuannya 93 % rata-rata kemampuan individu,kelompok yang terdiri dari 3 orang kemampuannya 85 % rata-rata kemampuan individu,kelompok 8 orang 49 % kemampuan rata-rata individu.
Ingham dkk kembali meneliti sampai 2 kali hasil dari Ringelman.Eksperimen I : kelompok 2 orang 91 % penampilan rata-rata individu,kelompok 3 orang 82 % kemampuan rata-rata,kelompok 6 orang menunjukan 78 % kemampuan rata-rata individu.Dari hasil penelitian Ringelmann tersebut Steiner mengajukan pandangan bahwa penurunan penampilan kelompok disebabkan karena hilangnya koordinasi.Kemudian Ingham melakukan eksperimen ke II yaitu dengan menempatkan individu diruang tertutup (gelap) dan diberi tahu bahwa mereka melakukan tugas berkelompok yang terdiri dari satu sampai enam orang.Hasilnya menunjukkan untuk kelompok 3 orang penampilannya 85 % dari kemampuan rata-rata individu.
Dari hasil penelitian yang dilakukan “Ringelmann” terbukti terjadi penurunan penampilan rata-rata individu apabila terjadi peningkatan jumlah anggota kelompok dan ini disebut “Ringelmann effect”. Menurut latane dkk gejala tersebut terjadi karena hilangnya motivasi dan berbaurnya rasa tanggung jawab.
Ringelmann effect atau dampak ringelmann kiranya terjadi pada semua bentuk kelompok dalam olahraga karena interaksi dalam kelompok-kelompok olahraga atau tim tidak sama. Contoh tim panahan tidaklah sama proses interaksinya dengan regu estafet dalam renang atau atletik dan berbeda pula dengan interaksi yang terjadi dalam tim sepak bola atau basket.
Penampilan dan prestasi atlit berkaitan dengan motivasi atlit, khususnya motivasi untuk berprestasi atau motivasi ketergabungan anggota dalam ikatan tim (berafiliasi). Contoh pada permainan ganda bulutangkis dapat saja terjadi pemain A kalah lawan X pada permainan tunggal pemain B kalah lawan Y pada permainan tunggal tapi pasangan AB dapat menang lawan pasangan XY pada permainan ganda. Disamping segi-segi ketrampilan teknis, aspek psikologis seperti rasa tanggung jawab dan kerja sama juga ikut menentukan. Ini tidak akan terlepas dari interaksi yang terjadi antara pemain yang berpasangan tersebut. Interaksi interpersonal akan sangat besar pengaruhnya terhadap penampilan dan prestasi pemain ganda dalam bulutangkis misalnya saling pengertian dan tidak saling menyalahkan serta tidak ingin menguasai dan menonjolkan diri. Dampak ringelmann dalam hal ini tidak jelas berlaku. 
Dari beberapa contoh di atas jelas bahwa dampak Ringelmann atau “Ringelmann effect” tidak selalu relevan untuk menganalisis gejala merosotnya prestasi kelompok atau tim dalam olahraga. Tugas-tugas dan tantangan yang dihadapi suatu tim kemungkinan dihadapi ang
gota-anggota tim dengan menurunnya rasa tanggung jawab, kurang gairah karena kemampuan individual kurang menonjol, menimbulkan kecemasan karena rasa takut akan kalah, dsb-nya; tetapi sebaliknya dapat juga menimbulkan rasa kebersamaan untuk membela nama baik tim, lebih meningkatkan motivasi untuk berprestasi karena tiap-tiap anggota tim tidak ingin menjadi penyebab kurang berhasilnya penampilan tim, dsb-nya.













BAB 3
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari uraian makalah yang telah diselesaikan itu dapat diketahui bahwa dalam olahraga, terdapat pula gejala-gejala yang dapat mengganggu diri kita sendiri yang mana dia berasal dari diri kita sendiri. Seperti gejala emosi yang mana sangat susah untuk kita kendalikan apabila dia sudah berada di puncak atas. Begitu pula dengan gejala lainnya, mereka saling terkait satu sama lainnya sehinnga tidak bisa dipisahkan dari individu-individu tertentu.

B. Saran
Untuk kelengkapan makalah ini kami kelompok lima sangat membutuhkan saran atau kritikan dari dosen pembimbing dan teman-teman semua untuk mencapai sesuatu yang belum kita ketahui atau pahami. Atas saran dan kritikan dari dosen pembimbing dan teman semua kami ucapkan terima kasih.







DAFTAR PUSTAKA

http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/11/apakah-arti-emosi.html                         
Buku Psikologi Olahraga oleh Drs. Syahrastani, M.Kes
Buku Psikologi Olahraga oleh PROF.DR.Sudibyo Setyobroto
Buku Psikologi Olahraga oleh Monty P. Satiadarman







pedagogi olga


PEDAGOGI OLAHRAGA 1
ABSRAK
Pedagogi Olahraga (sport pedagogy) adalah sebuah disiplin ilmu keolahragaan yang berpotensi untuk mengintegrasikan subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya untuk melandasi semua praktik dalam bidang keolahragaan yang mengandun maksud dan tujuan untuk mendidik.
Kajian ruang lingkup sport pedagogy istilah lazimnya dan disepakati di tingkat internasional memang tidak lepas dari pemahaman kita terhadap eksistensi ilmu keolahragaan (sport science). Dari perspektif sejarah, di Indonesia status dan pengakuan terhadap ilmu keolahragaan masih tergolong masih muda baik ditinjau dari tradisi dan paradiqma penelitian maupun produk riset yang dapat diandalkan untuk melandasi tataran praktis.
Selanjutnya diuraikan tentang pedagogi olahraga dari aspek perkembangannya, tetapi risalah ini lebih diarahkan pada pengenalan batang tubuh pedagogi olahraga itu sendiri yang dipahami sebagai medan penelitian, sekaligus pengembangan ilmu yang melandasi semua upaya yang mengandung intensi yang bersifat mendidik. Itulah sebabnya, pedagogi olahraga memiliki peluang pengembangan dan penerapannya, tidak hanya dalam lingkup penyelenggaraan Penjas dan OR di sekolah atau lembaga formal, tetapi juga diluar persekolahan seperti perkumpulan olahraga, terutama klub-klub pembinaan olahraga usia dini.
Kukuhnya landasan ilmiah bagi landasan bagi segenap upaya kependidikan dalam olahraga menuntun kearah efisiensi proses dan efektivitas pencapaian tujuan yang diharapkan. Hanya dengan landasan ilmiah yang kukuh baru akan terjamin prinsip akuntabilitas dalam pendidikan jasmani dan olahraga, dan atas dasar itu pula para pendidik di bidang olahraga dapat mempertanggungjawabkan upaya pembinaannya secara terbuka kemasyarakat.
Perspektif Sejarah.

Kerangkan ilmu keolahragaan itu sendiri di Indonesia, secara gamblang, mulai dikenal sejak thn 1975 tatkala adanya lokakarya internasional sport science. Hasilnya berdampak kuat terhadap pengembangan STO di Indonesia meskipun kala itu muatannya sesak dengan pengetahuan tentang isi (content knowledge). Beberapa sub disiplin ilmu keolahragaan (misalnya biomekanik, filsafat olahraga, fisiologi olahraga, dalam nuansa sendiri-sendiri) mulai dikembangkan yang didukung oleh ilmu-ilmu pengantar lainnya dalam pendidikan. (misalnya psikologi pertumbuhan dan perkembangan) dan ilmu social lainnya (misalnya sosiologi dan anthropology) yang dipandang perlu dikuasai oleh para calon guru, pelatih dan Pembina olahraga.
Struktur Ilmu Keolahragaan

Kerangka dasar ilmu keolahragaan yang disusun berdasarkan kemajuan yang dianggap cukup mapan, seperti yang dipaparkan Prof. Haag di Jerman sejak th 1979, sangat membantu kita untuk menelaah kedudukan sport pedagogy, sebagai salah satu diantaranya, sebagai isi dari ilmu keolahragaan.
Ada 7 (tujuh) bidang teori yang mendukung, yakni (1) sport medicine, (2) sport beomechanic, (3) sport psychology, (4) sport sociology, (5) sport pedagogy, (6) sport history dan (7) sport philosophy. Masing-masing bidang memiliki medan penelitian yang spesifik pula. Urutan ketujuh bidang teori tersebut dipaparkan dalam pengelompokkan yang dianggap logis. Sport medicine dan sport biomechanic olahraga termasuk kedalam kelompok ilmu pengetahuan alam, sementara sport psychology, sport sosiology dan sport pedagogy tergolong kedalam rumpun ilmu pengetahuan sosial dan behavioral. Sport history dan sport philosophy termasuk kedalam kelompok hermeneutical-normative science. Paparan tersebut juga menunjukkan bahwa “ibu” ilmu pengetahuan yang menjadi landasan pengembangan ilmu keolahragaan ialah medicine, biology/fisika, psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat.
Sementara itu juga telah dikelompokkan bidang teori yang lebih spesifik yang menjadi jati diri ilmu keolahragaan, bertitik tolak dari wilayah spesifik yang meliputi faktor : (1) gerak (movement), (2) bermain ( play ) (3) pelatihan (training) dan (4) pengajaran dalam (5) olahraga (sport instruction) . dari kelima wilayah spesifik ini lahirlah 5 (lima) dimensi dari perspektif ilmu dan teori yakni movement science dan movement theory ; play science dan play theory ; training science dan training theory ; dan instruction science of sport dan instruction theory of sport.
Dengan demikian semakin jelas gambaran tentang taksonomi ilmu keolahragaan yang dibangun berdasarkan sejumlah bidang teori. Kecenderungan ini menunjukkan perkembangan ilmu keolahragaan ke arah spesialisasi dan pragmentasi.
Landasan Filosofis Pedagogy Olahraga
Pandangan dualisme Decartes yang memahami dikhotomi jiwa dan badan berpengaruh terhadap profesi di bidang keolahragaan, yakni raga dipandang semata-mata sebagai sebuah objek, yang diungkapkan dalam perumpamaan yang lazim dikenal ” the body instrument” ” the body-machine” atau ” the body-computer”. Sebagai akibatnya maka sedemikian menonjol pandangan yang mengutamakan aspek raga sehingga fisiologi dan anatomi menduduki posisi yang amat kuat dalam penyiapan tenaga guru pendidikan jasmani, dan pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah subjek yang penting bagi pembinaan fisik yang dipandang sebagai mesin.
Selanjutnya, konsep yang dikembangkan Maurice Merleau-Ponty tentang ” the body-subjek “ dapat dipandang sebagai sebuah perubahan radikal pemikiran dualisme Cartesian. Inti dari pemikiran Ponty ialah bahwa manusia itu sendirilah yang secara sadar menggerakkan dirinya sehingga tubuh atau raga aktif sedemikian rupa untuk kontak dengan dunia sekitarnya. Idea tentang the body subject mengaskan kesatuan antara jiwa dan badan.
Pendidikan jasmani dan Pedagogi Olahraga.
Meskipun rumusan lingkup unsur pedagogi olahraga (sport pedagogi) beragam pada berbagai negara, karena terkait dengan perbedaan budaya, akar sejarah, dan standar metodologi, namun pada tingkat internasional, terdapat persamaan pemahaman yaitu pendidikan jasmani dipahami sebagai sebuah bidang studi (mata pelajaran) di sekolah, dan pedagogi olahraga dipandag sebagai sebuah subdisiplin ilmu dalam kerangka ilmu keolahragaan.
Seperti dikemukakan oleh para ahli lainnya (Pierson, Cheffers, dan Barette 1994; dalam Naul, 1994) pedagogi olahraga merupakan sebuah disiplin yang terpadu dalam struktur ilmu keolahragaan. Paradiqma ini telah diadopsi di Indonesia dalam pengembangan pedagogi olahraga di FIK/FPOK/JPOK dengan kedudukan bahwa pedagogi olahraga dianggap sebagai ”induk” yang berpotensi untuk memadukan konsep / teori terkait dan relevan dari beberapa subdisiplin ilmu keolahragaan lainnya terutama dalam konteks pembinaan dalam arti luas dan paradiqma interdisiplin (Matveyev, dalam Rusli lutan, 1988). Pandangan ini tak berbeda dengan tradisi di Jerman yang menempatkan pedagogi olahraga dalam kedudukan sentral dan struktural ilmu keolahragaan (Wasmund, 1973).
Dalam model yang dikembangkan di Universitas Olahraga Moskow, pedagogi olahraga ditempatkan sebagai ”pusat” yang berpotensi untuk memadukan beberapa subdisiplin ilmu dalam taksonomi ilmu keolahragaan, sementara para ahli meletakkan sport medicine yang mencakup aspek keselamatan (safety) dan kesehatan sebagai landasan bagi pedagogi olahraga (Rusli Lutan, 1988; dalam laporan hasil The Second Asia-pasicic Congress Of Sport and Physical Education University President).
Widmer (1972) menjelaskan objek formal pedagogy olahraga yaitu ”fenomena olahraga fenomena pendidikan, tatkala manusia dirangsang agar mampu berolahraga.
Bagi Grupe & Kruger (1994), pedagogy olahraga mencakup 2 (dua) hal utama : (1) tindakan pendidikan praktis dalam bermain dan olahraga, dan karena itu ada landasan teoritis bagi kegiatan olahraga yang mengandung maksud mendidik tersebut, (2) praktik yang dimaksud berbeda dengan praktik dan konsep lama dalam pendidikan jasmani yang mengutamakan latihan gaya meliter dan drill di beberapa negara, khususnya di Jerman; praktik baru itu disertai konsep teoritis pendidikan jasmani, kontrol terhadap badan, disiplin, yang menyatu dengan gerak fisik, ability, dan keterampilan di bawah pengendalian jiwa dan kemauan.
Di Indonesia, baik dalam pengertian paradiqma pengembangan keilmuannya, maupun substansinya, pedagogi olahraga ini baru merupakan sebuah ”embrio” dalam taksonomi ilmu keolahragaan dalam international Workshop on Sport Science. 1975 di bandung yang diikuti pimpinan dan dosen dari STO se-Indonesia dengan nara sumber ahli dari jerman Barat (Prof. Haag, Prof. Nowacki, Dr. Jansen dan Bodo Schmidt). Indonesia tenggelam dalam pencarian struktur ilmu keolahragaan, asyik dengan tema-tema diskusi olahraga kompetitif, disekitar feri-feri ilmu kepelatihan dan sport medicine.
Sejak tahun 1980-an perubahan memang banyak terjadi di tingkat international, terutama di AS utara, yaitu para ilmuan bidang keolahragaan, mulai memperkenalkan ”sport Pedagogy” dengan alasan yang berbeda, dan mereka mulai menengok ke perspektif sejarah sistem pendidikan jasmani dan kurikulum penididikan jasmani mereka sendiri. (Siedentop, 1990). Di antara alasan yang dikemukakan Siedentop ialah dampak krisis ekonomi yang menyebabkan penyerapan lulusan program pendidikan yang amat rendah dipasar kerja (disekolah) sehingga melalui pengembangan pedagogi olahraga akan terbuka spektrum layanan jasa profesional di luar sekolah dan menyerap tenaga kerja.
Pedagogi olahraga bukanlah merupakan perluasan istilah pendidikan jasmani. Perkembangan pedagogi olahraga dalam paradiqma interdisiplin-integratif didorong oleh kebutuhan secara akademik, yakni dari aspek metodologi, sebab pendekatan hermenetik dalam pendidikan jasmani sudah tidak lagi memadai untuk mampu mengembangkan segi keilmuannya. Banyak ilmuan Internssional sepaham bahwa istilah pedagogi olahraga berasal dari jerman, tatkala latar belakang filsafat / hermenetik dari ”teori pendidikan jasmani” mengalami kemunduran pada akhir tahun 1960-an, sehingga diganti dengan istilah pedagogi olahraga (Grupe, 1969; dalam Naul, 1994).
Namun informasi lainnya (misalnya Naul, 1994) menyebutkan bahwa istilah pedagogi olahraga itu tidak saja sepenuhnya berasal dari jerman yang muncul pada tahun 1960-an, karena Pierre de Coubertin menulis buku Pedagogi Sportive pada tahun 1922. Gerakan Olimpiade sejak tahun 1898 hingga perang dunia I, seperti juga buah pikiran yang tertuang dalam beberapa naskah dan artikel yang ditulis de Courbertin (Perancis), Gebbardt dan Diem (Jerman), dan Kemeny serta Guth-Jarkowsky (Austria-Honggaria) sempat diabaikan oleh para pedagogi olahraga. Tulosan mereka tentang pendidikan olahraga menonjolkan pengembangan moral, kemauan untuk berolahraga, dan semangat olimpiade, dan pokok pikiran itu sungguh sangat relevan dengan konsep dalam pdagogi olahraga. Para tokoh peletak dasar pedagogi olahraga ini berpikiran sama dengan para pendidik lainnya tentang hakikat dan gerakan pengembangan ” body and mind ” di Amerika Serikat dan Jerman.
Di berbagai negara, pendidikan jasmani dibentuk kembali setelah tahun 1900, khususnya tahun 1920-an . Perkembangan ini didukung kuat oleh Dokter olahraga yang dikenal di tingkat Internasional yaitu Sargent (1906) di AS, dan Schmidt (1912) di Jerman. Kedua tokoh ini menganjurkan tipe latihan senam dan metode pengajaran yang tekanannya pada pembentukan (forming) fisik. Metode alamiah menjadi populer di Denmark dan Swedia yang dipromosi oleh Torngren (1914), Knudsen (1915) dan Bukh (1923)
Lingkup Batang Tubuh Pedagogi Olahraga.
Beberapa definisi tentang pedagogi olahraga, seperti dikembangkan di Erofa lebih menunjuk kepada segenap upaya yang mengandung maksud dan tujuan untuk yang bersifat mendidik, meskipun ada kecenderungan kearah penyempitan makna semata-mata menelaah proses pengajaran belaka, seperti yang dikatakan ”sport pedagogy deal with teaching and learning of all age group ….target group are individual with low level of performance,” atau ”sport pedagogy is constituted in the actors and actions of teaching and learning porpuseful human movement”. Dalam ungkapan yang lebih umum dan luas disebutkan bahwa pedagogi olahraga adalah “ the science …which is concerned with the relationship between sport and education (misalnya dalam tulisan Grupe & Kurz).
Definisi ini sangat banyak mebantu kita untuk memahami bahwa lingkup pedagogi olahraga banyak berurusan dengan segenap upaya yang bersifat mendidik yang sarat dengan misi dalam rangka proses pembudayaan, khususnya transformasi nilai-nilai inti, yang memang, jika disimak secar cermat, bahwa olahraga itu sanat kaya dengan potensi dan kesempatan dalam pembekalan kecakapan hidup.
Tidak dipungkiri bahwa seluruh lakon gerak insani yang sadar dan bertujuan dalam konteks olahraga itu melibatkan sebuah mekanisme kerja system persyarafan dalam sebuah koordinasi yang luar biasa cepatnya, mekanisme persepsi dan aksi yang sinkron dibuahkan dalam bentuk pembuatan keputusan yang cepat, pemecahan masalah yang jitu selain kreativitas, seperti tampak dalam peragaan para atlit tinggi (misalnya tampak dalam peragaan professional bola basket dan sepakbola). Unsur estetika melekat kuat di dalamnya dalam wujud irama tampilan yang anggun dan selaras untuk berekpresi (lihat misalnya dalam tampilan atlit figure skating). Pengembangan potensi sekaligus pembentukan jelas-jelas terjadi melalui semua adegan yang bersifat mendidik, dan dalam kaitan itu pula mengklaim bahwa pendidikan jasmani dan olahraga berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan yang bersifat menyeluruh sangat dapat dipertanggung jawabkan.
Bahwa proses ajar merupakan bagian dan keterjadian pendidikan jasmani dan olahraga harus diakui, dan perubahan laku dimaksud memang terjadi melalui proses itu. Itulah sebabnya pada tataran praktis disyaratkan bahwa harus selalu terjadi proses transaksi antara guru dan murid, yang berimplikasi pada pertanyaan, yakni apa sesungguhnya substansi yang disampaikan oleh guru kepada murid, dan karena itu PENGETAHUAN apa yang terkandung dalam substansi yang disampaikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kretik keras dari masyarakat dan orang tua siswa terhadap profesi pendidikan jasmani dan olahraga ialah bahwa hanya sedikit terjadi dan bahkan ada tuduhan sama sekali tidak berlangsung proses ajar.
Kompleksitas yang terjadi benar-benar pada tataran praktis, bukan teoritis yang berakibat fatal bagi tuunnya wibawa para pemangku profesi itu. Sungguh tidak terelakkan bahwa kesenjengan antara harapan dan kenyataan (das sollen or de sain) memang telah terjadi dalam pencapaian tujuan pendidikan jasmani dan olahraga yang terkait dengan kelemahan dalam hal kejelasan landasan keilmannya dan keterhubungan antara aspek teoritis dan praktis.

MOTOR LEARNING


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Belajar merupakan suatu proses yang dapat mendorong terhadap tumbuhnya suatu perubahan, baik perubahan sebagai hasil dari pengalaman maupun latihan. Perubahan yang dimaksud bukan pertumbuhan dan perkembangan melainkan perubahan penampilan keterampilan yang bertalian dengan kecakapan keterampilan dan kecakapan persepsi.
            Menurut Gagne (1977) dalam Mappa (1994: 6), belajar adalah suatu perubahan disposisi (watak) atau kapabilitas (kemampuan) manusia berlangsung, selama suatu jangka waktu tertentu dan tidak sekedar menganggapnya proses pertumbuhan.
            Gerak merupakan ciri kehidupan. Gerakan tubuh dalam hal ini gerak yang dihasilkan oleh kontraksi otot, memungkinkan manusia melakukan berbagai hal yang menunjang kehidupannya. Manusia Mempertahankan Keselamatannya dengan bergerak bergerak: Reflek menghindar, berlari, menunduk, memungkinkan orangmenjaga diri dari hal yang mempertahankan tubuhnya. Belajar gerak ini adalah menambah pengetahuan, pemahaman, atau penguasaan melalui pengalaman atau penyelidikan.
            Pembelajaran  gerak adalah serangkaian gerak yang dihubungkan dengan latihan atau pengalaman yang mengarah pada perubahan-perubahan yang relatif permanen dalam kemampuan seseorang untuk menampilkan gerakan-gerakan yang terampil. Aspek-aspek yang terkandung dalam pembelajaran gerak meliputi: Belajar merupakan pengaruh latihan atau pengalaman, Belajar tidak langsung teramati, Perubahan yang terjadi relatif melekat adalah penting untuk menyakini bahwa faktor latihanlah yang akan mempengaruhi penampilan secara menetap. Perubahan kemampuan itu akan menjadi ciri dari orang yang bersangkutan yang akan berguna ketika suatu waktu di butuhkan. Kemampuan baru itu akan terbawa kemanapun orang yang bersangkutan berpindah tempat.
            Pelatihan merupakan suatu proses yang sistematis,yang dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang ditambah sedikit demi sedikit pada hari-hari berikutnya. Dengan berlatih secara sistematis dalam pengulangan-pengulangan yang konstan, maka akan didapatkan hasil yang baik. Dalam olahraga pengulangan teknik dasar sangat diperlukan, sehingga gerakan gerakan yang diperlukan tetap stabil, (tidak berubah).
            Pada dasarnya olahraga membutuhkan sentuhan jiwa yang halus, kesabaran, keuletan dan ketahanan mental. Selain itu, ada unsur-unsur yang mendasar dan mutlak dimiliki dalam olahraga: bentuk dan struktur tubuh, teknik dasar, mekanisme gerak, kondisi fisik dan kebugaran mental, karena unsur-unsur tersebut saling melengkapi satu sama lain untuk mencapai otomatisasi dalam keterampilan yang baik dibutuhkan pengetahuan tentang gerakan-gerakan yang kesemuanya itu dapat dikaji melalui motor learning.
B.     Masalah
            Berdasarkan latar belakang yang telah penulis bahas di atas, agar makalah ini lebih mengarah dan tidak terlalu luas, maka penulis menarik Benang Merah dalam makalah ini yang berfokus pada masalah di antaranya:
1.      Posisi Teori Belajar Keterampilan Motorik
2.      Pengertian Motor Learning
3.      Belajar Gerak
4.      Koordinasi Gerak
C.    Tujuan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, yaitu: agar pembaca mengetahui tentang  motor learning lebih mendalam.









BAB II
PEMBAHASAN

A.    Posisi Teori Belajar Keterampilan Motorik
            Dalam beberapa bagian terdahulu telah diuraikan beberapa elemen yang membangun kerangka ilmu keolahragaan. Karena itu, kita dapat mengatakan bahwa ilmu keolahragaan itu merupakan sebuah konstelasi dari disiplin ilmiah yang mengandung seperangkat teori sebagai sebuah sistem di mana di dalamnya terdapat hukum-hukum dan konstruk. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat lintas disiplin, kita mengakui ilmu keolahragaan memang masih muds sehingga masih membutuhkan waktu untuk menjelma menjadi ilmu yang mapan kedudukannya. Sehubungan dengan pemahaman terhadap ilmu keolahragaan sebagai sebuah konstelasi disiplin ilmiah, yang menjadi persoalah berikut ialah di mana kedudukan teori belajar ketrampilan gerak yang dalam istilah asing di kalangan ahli di Amerika Utara disebut motorlearning. Apakah teori itu termasuk ke dalam psikologi olahraga atau masuk ke dalam sport pedagogy.
            Kecenderungan perkembangan kajian terhadap perilaku motorik sekarang ini meliputi: (1) kontrol motorik (motor control), (2) belajar motorik (motor learning), dan (3) perkembangan motorik (motor development).
B.     Pengertian Motor Learning
            Motor learning berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni: motor dan learning. Motor artinya gerak dan Learning adalah belajar. Jadi secara harafiah motor learning adalah belajar gerak, yang selanjutnya akan dipakai pengertian tersebut dalam penulisan ini. Namun para ilmuan olahraga dalam menjelaskannya tidak hanya pada pengertian kata saja tetapi dijelaskan tentang maknanya.
            Menurut Schmidt (1988: 346) Motor Learning adalah serangkaian proses internal berkaitan dengan praktek atau pengalaman yang akan membentuk perubahan permanent relative terhadap kemampuan untuk merespons.. Jadi pengertian motor learning ini beraneka ragam, dan berdasarkan pendapat para ahli diatas dapatlah dirumuskan motor learning yang diartikan dalam bahasa Indonesia yaitu belajar gerak adalah: suatu proses pembentukan sistematika kognitif tentang gerak yang kemudian diaplikasikan dalam psikomotor mulai dari tingkat keterampilan gerak yang sederhana ke keterampilan gerak yang kompleks sebagai gambaran fisiologis yang dapat membentuk psikologis untuk mencapai otomatisasi gerak.
C.       Belajar gerak
            Belajar gerak menurut  Gagne (1977) dalam Kiram (1999:15), adalah  sebagai perubahan tingkah laku atau perubahan kecakapan yang mampu bertahan dalam waktu jangka tertentu, dan bukan berasal dari proses pertumbuhan.
            Menurut Romiszowki (1981) dalam Kiram (1999:15), belajar gerak adalah belajar yang diwujudkan melalui respon- respon/ muscular yang pada umumnya diekspresikan dala gerak tubuh atau bagian tubuh. Adapun  belajar gerak menurut Rabb (1972) dalam Kiram (1999:15), belajar gerak merupakan suatu pengaturan kembali pola gerak dasar yang mengakibatkan suatu perubahan tingkah laku gerak yang terjadi, sebagai hasil latihan. Dimana latihan usaha yang sistematik dengan prinsip paedagogik untuk memunculkan bakat yang dimiliki sebagai atlet atau melatih kemampuan secara bertahap dengan prinsip dasar peningkatan ( Singgih, 1996:5).
            Jadi Belajar gerak adalah merupakan suatu proses yang sistematis untuk mendapatkan suatu perubahan perilaku yang dalam hal ini adalah keterampilan gerak dengan  melibatkan aspek-aspek psikis dan pisik secara aktif . Belajar gerakan dimulai dengan aktivitas psikis (berpikir) kemudian dilanjutkan dengan aktivitas fisik, dalam artian merealisasikan apa yang telah dipahami/dimengerti secara psikis (kognitif) kedalam unjuk kerja motorik.
            Di dalam belajar gerak terdapat  indikator yakni, terjadinya peningkatan kualitas untuk kerja gerak itu sendiri. Ketegasan ini sangat diperlukan untuk menghindarkan salah mengerti dalam melakukan evaluasi. Menurut Kiram (1999:18) penilaian kualitas gerak dapat dilihat dari indikato-indikator sebagai berikut:
a.       Ketepatan irama gerakan
b.      Ketepatan pemakaian ruangan
c.       Ketepatan penggunaan waktu
d.      Ketepatan dan kelancaran gerak/ aliran gerak
e.       Ketepatan struktur gerakan
f.       Kekonstanan gerakan
g.      Hubungan Gerak


D.     Koordinasi Gerak
            Gerak-gerak yang dilakukan manusia merupakan suatu fenomena yang unik dan kompleks. Maka dalam pembahasan dibutuhkan pengintegrasian berbagai disiplin ilmu  pengetahuan, seperti: psikologi, anatomi, dan fisiologi. Hal ini disebabkan karena pengetahuan dan pemahaman terhadap proses terjadinya gerak akan dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap berbagai keperluan yang berkaitan dengan gerak.
Empat komponen dasar gerak : Kognitif, Motorik, Afektif dan Emosional. Keempat komponen dasar ini, dalam penampilan gerak saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya dikatakan bahwa gerak merupakan implementasi interaksi keempat komponen tersebut yang diwujudkan dalam bentuk nyata, yaitu gerak
            Koordinasi gerak  menurut  Husdarta (2010: 109) adalah kemampuan untuk mengatur keserasian gerak bagian- bagian tubuh. Kemampuan ini berhubungan dengan kemampuan kontrol tubuh. Individu yang koordinasi gerakanya baik akan mapu mengendalikan gerak tubuh sesuai kemauannya. Kemampuan koordinasi gerak dinilai berdasrkan kemampuan elakukan gerakan-gerakan keterampilan.
            Penguasaan dasar terjadi sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik. Dengan pertumbuhan fisik yang semakin tinggi dan semakin besar atau semakin berotot, peningkatan penguasaan gerak dasar dapat didentifikasikan dengan melihat mekanikan tubuh dalam melakukan gerakan semakin baik,control dan kelancaran gerak  makin baik, pola dan bentuk gerakan makin bervariasi dan gerkan bertenaga.
           Menurut Aziz (2008:166) ,ciri- ciri koordinasi gerak meliputi (a) struktur gerakan; (b) irama gerakan; (c) hubungan gerakan; (c) Luas gerakan; (d) kelancran gerakan; (e) kecepatan gerakan.
           Menurut Laban (1999) dalam Tohidin (2007: 14) mengatakan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan dalam pemblejaran keterampilan gerakan yang disebut factor-faktor gerak dan berkaitan dengan factor ruang, waktu, gaya, arus dan ritme atau dimana, bagaiman dan dengan apa kita bergerak factor- factor tersebut berlaku untuk semua bidang keterampilan.
Dalam belajar gerak, yang dimaksudkan dengan informasi adalah penjelasan tentang tugas-tugas gerakan yang dilakukan. Setelah informasi diterima oleh alat resptor, informasi tersebut diteruskan ke pusat susunan syaraf. Terjadi proses pengolahan informasi meliputi : pemberian arti atau makna, pengambilan keputusan tentang respon atau aksi-aksi motorik yang akan ditampilkan. Dalam proses analisis ini maka pengalaman-pengalaman masa lalu (ingatan aksi-aksi motorik) turut berperan aktif, terutama sebagai bahan banding atau pertimbangan dalam menentukan respon yang akan ditampilkan. Analisis dan pengolahan informasi, menghasilkan alternatif respon. Setelah itu sampai tahap pengambilan keputusan tentang respon yang akan ditampilkan
Setelah mengambil keputusan tentang bentuk-bentuk aksi motorik yang akan ditampilkan, proses berikutnya adalah proses fisiologis, yaitu pemberian implus tenaga ke alat gerak. Hasilnya adalah gerak atau aksi-aksi motorik yang ditampilkan sebagai respon.
















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Dari pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya bahwa “motor lerning” merupakan istilah untuk belajar gerak. Belajar gerak merupakan suatu proses yang sistematis untuk mendapatkan suatu perubahan perilaku yang dalam hal ini adalah keterampilan gerak dengan  melibatkan aspek-aspek psikis dan pisik secara aktif . Belajar gerakan dimulai dengan aktivitas psikis (berpikir) kemudian dilanjutkan dengan aktivitas fisik, dalam artian merealisasikan apa yang telah dipahami/dimengerti secara psikis (kognitif) kedalam unjuk kerja motorik.
B.     Saran
            Dari pembahasan makalah di atas, diharapkan mahasiswa Manajemen Pendidikan Olahraga dapat mengetahui  dan memahami pembelajaran  tentang “motor learning”.








DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Ishak. 2008. Tes dan Pengukuran Olahraga. Padang: FIK UNP.
Husdarta. 2010. Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik (Olahraga dan Kesehatan). Bandung: Alfabeta.
Kiram, Yanuar. 1999. Belajar Motorik. Padang: FIK UNP.
Mappa, Syamsu. dkk.. Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Proyek Pembinaan dan      peningkatan mutu Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal    Pendidikan      Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Schimid.R.A. 1988. Motor Control and Learning Behavioral Emphasis, Human    Kinetics Publihers. Illionis (http// Jariono.blogspot.com/2010/02/peranan-        motor-learning-dalam.html).
Singgih, D Gunarsah.1996. Psikologi Olahraga. Jakarta :  PT. BPK Gunung         Mulia.
Tohidin, Didin. 2007. Adaptasi Fisiologi dalam Olahraga. Padang: FIK. UNP     dan Wineka Media